Baru aja bikin postingan tentang
nostalgia sekolah, eh… mendadak muncul kontroversi tentang full-day school dari Pak Menteri Pendidikan. Saya tak benar-benar
tau isi pernyataannya seperti apa sih ya, secara saya jarang banget nonton tivi
dan tak update-update amat sama
berita. Paling ya cuma baca-baca sekilas dari Yahoo! atau Line Today, hahaha.
Disclaimer : Saya belum
pernah disekolahkan di full-day school,
tapi suami saya pernah, jadi saya lumayan dapat gambaran dari cerita-cerita
dia. Saya belum berstatus mamah-mamah juga ya, jadi pengetahuan saya tentang
ngasuh anak, berbagi waktu dengan anak, ingin selalu dekat anak, dan bla bla
bla lainnya saya belum pernah ngerasain. Selebihnya kalau ada yang merasa tak
setuju dengan isi tulisan ini, dipendam dalam hati aja ya, saya lagi tak minat
menanggapi, hahaha
Jadi wacananya adalah sekolah
se-Indonesia Raya mau dibikinkan konsep baru. Jadi full-day school semua. Ketika pertama kali mendengar ini, saya
langsung teringat kedua orang tua saya di rumah yang dua-duanya guru. Itu
berarti mama saya akan kekurangan jatah tidur siangnya. Gawat! Hahaha
Sebagai seorang yang sudah tak lagi
sekolah, kebijakan ini kalaupun nantinya terealisasi, belum akan ada pengaruhnya
untuk saya. Paling-paling ya nanti perjalanan pulang saya dari kantor jadi
makin macet saja sih karena berbarengan dengan bocah-bocah krucil yang kadang
suka nyeberang sembarangan, hahaha.
Kalaupun mau memikirkan untuk masa
depan sekolah anak saya nanti pun, kurang ada pengaruhnya juga, karena
sebenarnya saya sudah ada rencana untuk menyekolahkan anak di sekolah yang
berkonsep full-day school.
Ah elah anaknya aja belum ada,
hahaha *doakan saja ya, Buibu :D*
Tapi bagi saya, konsep full-day school memang belum cocok
apabila harus diterapkan di seluruh sekolah dan bersifat wajib. Anggarannya
dari mana, Pak, Bu? Memangnya mau bikin full-day
school nggak butuh dana banyak? Memangnya dengan fasilitas sekolah negeri
yang sudah pemerintah bangun itu bisa memfasilitasi kebutuhan aktualisasi anak
selama seharian di sekolah? Yakin? Yuk sini saya ajak ke sekolah tempat
mama-ayah mengajar :) Itu baru di Kabupaten Bangkalan lo.
Anggaplah fasilitas fisik bisa
dikebut dengan anggaran tambahan yang entah bisa dapat dana dari mana,
lalu kebutuhan pengajarnya bagaimana? Ini saya lebih concern ke sekolah dasar negeri ya. Terutama yang masuk daerah
terpencil. Kadang di satu sekolah, guru pengajarnya kalau tidak kurang ya
berarti pas-pasan. Pas dengan jumlah kelasnya maksudnya. Ada yang lebih karena
lengkap dengan guru Olahraga, guru IPA, guru Agama, guru Bahasa Daerah, dan
lain-lain, tapi ya ada juga yang satu guru untuk semua. Nah yang kondisi kayak
begini, memangnya nggak bosen ngajar seharian suntuk? Nggak usahlah bahas anak
yang sudah pasti bosan liat gurunya. Guru yang mengajar itu lo, sama bosennya
:)) sudah lah naik gaji tak seberapa, galak
sedikit dilabrak orang tua :))
Menurut saya, full-day school ini pilihan ya. Belum bisa dipukul rata jadi wajib karena
memang kebutuhan setiap anak dan keluarga berbeda. Kalau saya mampu untuk
menyekolahkan anak saya di sekolah yang full-day
school yang oke dan anak saya mau,
bisa jadi alternatif ini yang akan saya pilih. Tapi ya balik lagi sih, saya akan
survey dulu. Selama full-day ini
nanti si anak akan belajar apa, beraktivitas apa, gurunya oke nggak, fasilitas
sekolahnya mendukung nggak terhadap minat bakatnya. Jadi saya dan suami kerja
sampai sore pun tak masalah. Sabtu-Minggu hore-hore deh sama anak. Win-win solution kan? ;)
Nah itu kan kalau saya. Yang kerja
sampai sore dua-duanya. Yang memilih full-day
school karena memang punya pilihan dan ingin memilih yang seperti itu.
Lha kalau yang pinginnya si anak
pulang siang aja, trus tidur dikeloni mama, nanti les baletnya diantar papa gitu,
ya jadi nggak bisa milih begitu kan kalau full-day
school-nya jadi wajib :))
Belum lagi kalau nanti jadi wajib
tapi SDM dan fasilitasnya belum siap, yang kasian tentu si anak. Sudah waktunya
habis di sekolah, dia juga tak punya kesempatan mengembangkan minat bakatnya.
Kasian juga orang tuanya. Sudah bayar sekolah lebih mahal, hasilnya nggak
maksimal. Mau memberikan les minat bakat tambahan juga tak mungkin karena waktu
anaknya sudah banyak di sekolah. Jadi repot.
Jangan lupa juga ada sebagian anak
yang sepulang sekolah harus bekerja membantu orang tuanya. Masih banyak lo yang
begini. Jangan sampai deh mereka ini jadi tak bisa membantu orang tua, tapi di
sekolah juga tak dapat apa-apa. Hanya karena kewajiban sistem full-day school yang tak digodok hingga
benar-benar matang.
Mungkin nih ya, mungkiiin nanti
Indonesia bisa menerapkan sistem seperti ini. Tapi nanti kalau di pedalaman
gurunya sudah banyak dan memadai, kalau fasilitasnya sudah sama rata di seluruh
pelosok negeri, kalau setiap anak sudah bisa memperoleh hak-nya mengenyam
pendidikan dengan layak tanpa biaya yang membebani.
Masih ada banyak hal yang harus dibenahi
dari pendidikan kita selain mengurusi konsep full-day school ini. Urusi mereka yang punya semangat belajar tinggi tapi pemerintah kurang
memfasilitasi. Yang ke sekolah kudu niti (?) jembatan tali itu lo, Pak, Bu.
Yang akses ke sekolahnya jauuuh banget sampai-sampai tak ada guru yang mau mengajar ke
sana, yang sampai harus dibikinkan Gerakan Indonesia Mengajar sama mantan
menteri sebelum ini. Nggak usah ngurusi yang di kota terus keleus. *jadi nggak nyantai*
Ya udah deh ya. Semoga wacananya
nggak jadi. Kasian mama saya nanti jadi nggak bisa tidur siang. Kalau mama saya
nggak tidur siang, nanti jadi gampang masuk angin. Kasian ayah saya yang kudu
ngerokin tiap hari juga kan? wkwkwkwk XD
Bye!
No comments:
Post a Comment