August 12, 2016

Full-Day School?

Baru aja bikin postingan tentang nostalgia sekolah, eh… mendadak muncul kontroversi tentang full-day school dari Pak Menteri Pendidikan. Saya tak benar-benar tau isi pernyataannya seperti apa sih ya, secara saya jarang banget nonton tivi dan tak update-update amat sama berita. Paling ya cuma baca-baca sekilas dari Yahoo! atau Line Today, hahaha.

Disclaimer : Saya belum pernah disekolahkan di full-day school, tapi suami saya pernah, jadi saya lumayan dapat gambaran dari cerita-cerita dia. Saya belum berstatus mamah-mamah juga ya, jadi pengetahuan saya tentang ngasuh anak, berbagi waktu dengan anak, ingin selalu dekat anak, dan bla bla bla lainnya saya belum pernah ngerasain. Selebihnya kalau ada yang merasa tak setuju dengan isi tulisan ini, dipendam dalam hati aja ya, saya lagi tak minat menanggapi, hahaha
***
Jadi wacananya adalah sekolah se-Indonesia Raya mau dibikinkan konsep baru. Jadi full-day school semua. Ketika pertama kali mendengar ini, saya langsung teringat kedua orang tua saya di rumah yang dua-duanya guru. Itu berarti mama saya akan kekurangan jatah tidur siangnya. Gawat! Hahaha

Sebagai seorang yang sudah tak lagi sekolah, kebijakan ini kalaupun nantinya terealisasi, belum akan ada pengaruhnya untuk saya. Paling-paling ya nanti perjalanan pulang saya dari kantor jadi makin macet saja sih karena berbarengan dengan bocah-bocah krucil yang kadang suka nyeberang sembarangan, hahaha.

Kalaupun mau memikirkan untuk masa depan sekolah anak saya nanti pun, kurang ada pengaruhnya juga, karena sebenarnya saya sudah ada rencana untuk menyekolahkan anak di sekolah yang berkonsep full-day school.

Ah elah anaknya aja belum ada, hahaha *doakan saja ya, Buibu :D*
Tapi bagi saya, konsep full-day school memang belum cocok apabila harus diterapkan di seluruh sekolah dan bersifat wajib. Anggarannya dari mana, Pak, Bu? Memangnya mau bikin full-day school nggak butuh dana banyak? Memangnya dengan fasilitas sekolah negeri yang sudah pemerintah bangun itu bisa memfasilitasi kebutuhan aktualisasi anak selama seharian di sekolah? Yakin? Yuk sini saya ajak ke sekolah tempat mama-ayah mengajar :) Itu baru di Kabupaten Bangkalan lo.

Anggaplah fasilitas fisik bisa dikebut dengan anggaran tambahan yang entah bisa dapat dana dari mana, lalu kebutuhan pengajarnya bagaimana? Ini saya lebih concern ke sekolah dasar negeri ya. Terutama yang masuk daerah terpencil. Kadang di satu sekolah, guru pengajarnya kalau tidak kurang ya berarti pas-pasan. Pas dengan jumlah kelasnya maksudnya. Ada yang lebih karena lengkap dengan guru Olahraga, guru IPA, guru Agama, guru Bahasa Daerah, dan lain-lain, tapi ya ada juga yang satu guru untuk semua. Nah yang kondisi kayak begini, memangnya nggak bosen ngajar seharian suntuk? Nggak usahlah bahas anak yang sudah pasti bosan liat gurunya. Guru yang mengajar itu lo, sama bosennya :)) sudah  lah naik gaji tak seberapa, galak sedikit dilabrak orang tua :))

Menurut saya, full-day school ini pilihan ya. Belum bisa dipukul rata jadi wajib karena memang kebutuhan setiap anak dan keluarga berbeda. Kalau saya mampu untuk menyekolahkan anak saya di sekolah yang full-day school  yang oke dan anak saya mau, bisa jadi alternatif ini yang akan saya pilih. Tapi ya balik lagi sih, saya akan survey dulu. Selama full-day ini nanti si anak akan belajar apa, beraktivitas apa, gurunya oke nggak, fasilitas sekolahnya mendukung nggak terhadap minat bakatnya. Jadi saya dan suami kerja sampai sore pun tak masalah. Sabtu-Minggu hore-hore deh sama anak. Win-win solution kan? ;)

Nah itu kan kalau saya. Yang kerja sampai sore dua-duanya. Yang memilih full-day school karena memang punya pilihan dan ingin memilih yang seperti itu.

Lha kalau yang pinginnya si anak pulang siang aja, trus tidur dikeloni mama, nanti les baletnya diantar papa gitu, ya jadi nggak bisa milih begitu kan kalau full-day school-nya jadi wajib :))

Belum lagi kalau nanti jadi wajib tapi SDM dan fasilitasnya belum siap, yang kasian tentu si anak. Sudah waktunya habis di sekolah, dia juga tak punya kesempatan mengembangkan minat bakatnya. Kasian juga orang tuanya. Sudah bayar sekolah lebih mahal, hasilnya nggak maksimal. Mau memberikan les minat bakat tambahan juga tak mungkin karena waktu anaknya sudah banyak di sekolah. Jadi repot.
Jangan lupa juga ada sebagian anak yang sepulang sekolah harus bekerja membantu orang tuanya. Masih banyak lo yang begini. Jangan sampai deh mereka ini jadi tak bisa membantu orang tua, tapi di sekolah juga tak dapat apa-apa. Hanya karena kewajiban sistem full-day school yang tak digodok hingga benar-benar matang.

Mungkin nih ya, mungkiiin nanti Indonesia bisa menerapkan sistem seperti ini. Tapi nanti kalau di pedalaman gurunya sudah banyak dan memadai, kalau fasilitasnya sudah sama rata di seluruh pelosok negeri, kalau setiap anak sudah bisa memperoleh hak-nya mengenyam pendidikan dengan layak tanpa biaya yang membebani.

Masih ada banyak hal yang harus dibenahi dari pendidikan kita selain mengurusi konsep full-day school ini. Urusi mereka yang punya semangat belajar tinggi tapi pemerintah kurang memfasilitasi. Yang ke sekolah kudu niti (?) jembatan tali itu lo, Pak, Bu. Yang akses ke sekolahnya jauuuh banget sampai-sampai tak ada guru yang mau mengajar ke sana, yang sampai harus dibikinkan Gerakan Indonesia Mengajar sama mantan menteri sebelum ini. Nggak usah ngurusi yang di kota terus keleus. *jadi nggak nyantai*
Ya udah deh ya. Semoga wacananya nggak jadi. Kasian mama saya nanti jadi nggak bisa tidur siang. Kalau mama saya nggak tidur siang, nanti jadi gampang masuk angin. Kasian ayah saya yang kudu ngerokin tiap hari juga kan? wkwkwkwk XD

Bye!



No comments:

Post a Comment