Rasanya hampir di setiap Hari
Kartini atau Hari Ibu, perdebatan tentang perempuan bekerja vs ibu rumah tangga
ini mengemuka. Yang satu bikin surat terbuka, nanti pihak yang lain membalas.
Begituuu terus. Sejak kuliah sepertinya juga sudah ramai sih, tapi berhubung
waktu itu saya lebih sibuk sama alat gelas di laboratorium, kayaknya saya nggak
termotivasi untuk bikin tulisan seperti sekarang ini deh.
Saya berada di pihak netral dalam
perdebatan ini. Karena memang semua akan kembali pada situasi dan kondisinya
masing-masing yang tentu saja tidak semua orang bisa sama. Ya tho?
Saya lahir di kalangan keluarga
yang banyak perempuannya bekerja. Mama dan Bu Dhe saya sama-sama guru. Nenek
saya dulunya adalah staf Tata Usaha di salah satu sekolah di Bangkalan. Jadi saya
sudah biasa melihat perempuan di lingkungan sekitar saya bekerja.
Nenek, Mama, dan Bu Dhe, saya
yakin, tidak pernah merasa terpaksa. Justru mereka bangga karena bisa bekerja
dan mandiri. Nenek saya, yang juga ibu dari kedua anak perempuannya,
mengajarkan Mama dan Bu Dhe untuk punya pegangan penghasilan sendiri meskipun
suami mereka tetap wajib menafkahi. Dan Mama mengajarkan itu kepada saya.
Tujuannya bukan untuk bersombong-sombong di depan suami kan ya pasti. Tapi
karena kita tak pernah tau takdir manusia akan seperti apa, if you know what I mean. Apalagi di zaman Nenek belum populer
yang namanya asuransi.
Saya sendiri saat ini bekerja
sebagai karyawan swasta. Baru lulus kuliah langsung kerja dan menikah. Suami
saya seumuran dengan saya sehingga bisa dibilang karir kami tak jauh berbeda.
Keputusan saya untuk berkarir pernah menjadi topik yang serius saya tanyakan
pada suami. Kan nggak lucu ya kalau saya nikah, lalu baru ketauan kalau dia
nggak suka saya kerja. Disuruhnya saya di rumah aja, nggak boleh ketemu
manusia. Disuruhnya ngurusin kucing aja gitu gimana?
Dulunya saya kira SEMUA lelaki
tak ada yang keberatan apabila pasangannya bekerja. Lha wong dibantuin cari
duit kok nggak senang kan ya. Eh ternyata ada, bahahahak. Ya sudah sih,
akhirnya ‘membolehkan istri bekerja’ ini jadi salah satu kriteria wajib calon
suami saya sejak itu.
Kenapa kok saya ngebet sekali
pingin kerja?
Sayaaa… nggak tau, hahaha
Meskipun betah gegoleran doang di
rumah, tapi saya juga masih suka kerja, suka belajar, suka melihat intrik dan
friksi dunia kerja *cih bahasa gue*. Apalagi kalau sudah waktunya gajian. Pasti
suka banget, soalnya langsung pesen cushion
favorit *dikeplak*
Saya suka memperdalam pengalaman
dan wawasan saya di industri farmasi, yang tentu saja tak bisa saya dapat kalau
saya tak menceburkan diri di dalamnya. Bidang ini saya suka dan ingin saya
tekuni, jadi yaaa ini menjadi tempat saya mencari tantangan sekaligus
bersenang-senang :) dan sekaligus juga biar cepat punya rumahnya, hihihi
Saya tak setuju dengan beberapa
pihak yang mengatakan enak jadi ibu rumah tangga, nggak banyak kerjaan. Ah kata
siapa. Yang ngomong gitu pasti belum pernah seharian ngurusin rumah deh. Saya
dulu ngebersihin kosan aja nggak mesti tiap hari *ini kayaknya saya aja yang
pemalas* Apalagi mengurusi rumah dan printilannya.
Sebagai gambaran, kalau di rumah
saya sekarang, dengan fasilitas yang saya punya, dan ilustrasinya adalah saya
jadi ibu rumah tangga, jadinya akan begini nih.
Cuci baju pakai mesin cuci, jadi
bisa sambil siapin bahan untuk dimasak. Habis dicuci, harus dijemur kan ya,
kalau sudah lanjutkan masak. Ini masak doang juga udah ngabisin energi berapa
ya? Jadi, lanjut makan dulu biar nggak lemes. Lalu cuci piring dan peralatan
bekas memasak. Belum bersih-bersihnya, nyapu, ngepel, ngosek kamar mandi. Ini
baru di rumah saya, yang belum ada anak kecilnya. Oh iya lupa, itu
tadi gambarannya sudah mandi atau belum ya? Hmmm…
Nah… karena saya bekerja,
rutinitas saya ketika weekdays dan weekend berbeda. Ketika weekend biasanya
lebih hebring karena akumulasi kerjaan di Senin-Jumat, bahahaha. Apalagi kalau
pakai acara masak sehari tiga kali. Iya, hidup saya keliatannya nggak praktis
karena masaknya cuma cukup untuk sekali makan. Nanti mau makan lagi ya masak
lagi lolol. Gapapa lah ya, mumpung masih bisa masakin suami, dan suami doyan
masakan saya :)) Jadi jangan kira kalau perempuan bekerja, kemudian dengan
ajaib rumahnya sudah langsung bersih, pulang kerja sudah ada makanan di meja
makan, kasur sudah rapi, rumah sudah bersih, bahahaha. You wish :))
Saya bersyukur karena punya suami
yang pengertian. Kalau melihat saya sibuk di dapur sepulang kerja untuk menyiapkan
makan malam, dia biasanya langsung membantu bersih-bersih rumah, jadi ketika
masakan sudah siap, rumah sudah bersih, bisa langsung makan, lalu gegoleran
sambil nonton Detective Conan, hohoho. Saya beruntung sekali karena suami saya
mau diajak bekerjasama untuk melakukan apa saja. Bukan tipe-tipe suami yang
cuma mau diladeni tapi nggak mau bantuin. Hiks. *terharu*
Oleh karena itu, saya suka sedih
kalau ada yang seenaknya sendiri judge
perempuan bekerja sebagai perempuan *atau istri* yang tak tau kodratnya. Yang
suka begini ini kadang malah ya perempuan-perempuan juga lo. Mungkin mereka masih
beruntung karena suaminya masih sehat, bisa menafkahi dengan cukup, atau
mungkin usahanya sudah lancar jaya dan hidupnya baik-baik saja. Selamat ya.
Tapi mungkin mereka lupa kalau
ada perempuan yang tak langsung seberuntung mereka. Karena masih banyak yang
harus bekerja berdua untuk mencapai mimpi bersama-sama. Atau yang harus menafkahi
keluarganya karena suaminya terkena musibah. Masa suaminya mau ditinggal, lalu
cari suami lagi yang sanggup beliin gincu 500k kapan aja? Nanti dibilangnya nggak
setia *apeu*
Mungkin juga mereka tidak tau. Mungkin.
*harusnya kalau nggak tau ya diem aja sih* *malah ngomel* :p
Saya juga prihatin kalau ada yang
kemudian menyepelekan perempuan yang stay-at-home.
Ya biarin aja napa sih. Siapa tau kalau ternyata dia sudah punya usaha segudang
yang ngawasinnya tinggal diliat aja dari smartphone
di rumah. Siapa tau duit suaminya sudah turah-turah
dan suaminya pingin dia di rumah aja, mempercantik diri, menekuni hobi, atau
menemani suaminya pergi kemana-mana. Saya pernah tau loh pasangan kayak begini.
Beneran ADA. Jadi kalau belum paham betul kondisinya, direm dulu itu komentarnya. Tau kondisinya pun, nggak usah komentar juga lah. Buat apa kan? :p
Menurut saya, mau jadi perempuan
bekerja ataupun tak bekerja, asalkan tak melupakan apa yang jadi kewajiban sih,
tak ada masalah ya. Apalagi kalau nekat bekerja padahal suaminya tak
mengijinkan. Ya bisa jadi masalah. Intinya sih memang komunikasi kan ya? Toh
kondisi setiap rumah tangga kan tak sama. Lifegoals
–kata anak sekarang– yang ingin dicapai tiap keluarga kan juga beda.
Jadi, masih mau memperdebatkan hal
semacam ini sampai kapan, Buibu? :)
Sukasukasukaa, setujuh.
ReplyDeleteJd pngen cepet2 nikah biar bisa jadi buibu 😂