November 18, 2016

Perempuan Bekerja



Rasanya hampir di setiap Hari Kartini atau Hari Ibu, perdebatan tentang perempuan bekerja vs ibu rumah tangga ini mengemuka. Yang satu bikin surat terbuka, nanti pihak yang lain membalas. Begituuu terus. Sejak kuliah sepertinya juga sudah ramai sih, tapi berhubung waktu itu saya lebih sibuk sama alat gelas di laboratorium, kayaknya saya nggak termotivasi untuk bikin tulisan seperti sekarang ini deh.

Saya berada di pihak netral dalam perdebatan ini. Karena memang semua akan kembali pada situasi dan kondisinya masing-masing yang tentu saja tidak semua orang bisa sama. Ya tho?

Saya lahir di kalangan keluarga yang banyak perempuannya bekerja. Mama dan Bu Dhe saya sama-sama guru. Nenek saya dulunya adalah staf Tata Usaha di salah satu sekolah di Bangkalan. Jadi saya sudah biasa melihat perempuan di lingkungan sekitar saya bekerja.

Nenek, Mama, dan Bu Dhe, saya yakin, tidak pernah merasa terpaksa. Justru mereka bangga karena bisa bekerja dan mandiri. Nenek saya, yang juga ibu dari kedua anak perempuannya, mengajarkan Mama dan Bu Dhe untuk punya pegangan penghasilan sendiri meskipun suami mereka tetap wajib menafkahi. Dan Mama mengajarkan itu kepada saya. Tujuannya bukan untuk bersombong-sombong di depan suami kan ya pasti. Tapi karena kita tak pernah tau takdir manusia akan seperti apa, if you know what I mean. Apalagi di zaman Nenek belum populer yang namanya asuransi.


Saya sendiri saat ini bekerja sebagai karyawan swasta. Baru lulus kuliah langsung kerja dan menikah. Suami saya seumuran dengan saya sehingga bisa dibilang karir kami tak jauh berbeda. Keputusan saya untuk berkarir pernah menjadi topik yang serius saya tanyakan pada suami. Kan nggak lucu ya kalau saya nikah, lalu baru ketauan kalau dia nggak suka saya kerja. Disuruhnya saya di rumah aja, nggak boleh ketemu manusia. Disuruhnya ngurusin kucing aja gitu gimana?

Dulunya saya kira SEMUA lelaki tak ada yang keberatan apabila pasangannya bekerja. Lha wong dibantuin cari duit kok nggak senang kan ya. Eh ternyata ada, bahahahak. Ya sudah sih, akhirnya ‘membolehkan istri bekerja’ ini jadi salah satu kriteria wajib calon suami saya sejak itu.

Kenapa kok saya ngebet sekali pingin kerja?
Sayaaa… nggak tau, hahaha

Meskipun betah gegoleran doang di rumah, tapi saya juga masih suka kerja, suka belajar, suka melihat intrik dan friksi dunia kerja *cih bahasa gue*. Apalagi kalau sudah waktunya gajian. Pasti suka banget, soalnya langsung pesen cushion favorit *dikeplak*


Saya suka memperdalam pengalaman dan wawasan saya di industri farmasi, yang tentu saja tak bisa saya dapat kalau saya tak menceburkan diri di dalamnya. Bidang ini saya suka dan ingin saya tekuni, jadi yaaa ini menjadi tempat saya mencari tantangan sekaligus bersenang-senang :) dan sekaligus juga biar cepat punya rumahnya, hihihi



Saya tak setuju dengan beberapa pihak yang mengatakan enak jadi ibu rumah tangga, nggak banyak kerjaan. Ah kata siapa. Yang ngomong gitu pasti belum pernah seharian ngurusin rumah deh. Saya dulu ngebersihin kosan aja nggak mesti tiap hari *ini kayaknya saya aja yang pemalas* Apalagi mengurusi rumah dan printilannya.

Sebagai gambaran, kalau di rumah saya sekarang, dengan fasilitas yang saya punya, dan ilustrasinya adalah saya jadi ibu rumah tangga, jadinya akan begini nih.

Cuci baju pakai mesin cuci, jadi bisa sambil siapin bahan untuk dimasak. Habis dicuci, harus dijemur kan ya, kalau sudah lanjutkan masak. Ini masak doang juga udah ngabisin energi berapa ya? Jadi, lanjut makan dulu biar nggak lemes. Lalu cuci piring dan peralatan bekas memasak. Belum bersih-bersihnya, nyapu, ngepel, ngosek kamar mandi. Ini baru di rumah saya, yang belum ada anak kecilnya. Oh iya lupa, itu tadi gambarannya sudah mandi atau belum ya? Hmmm…



Nah… karena saya bekerja, rutinitas saya ketika weekdays dan weekend berbeda. Ketika weekend biasanya lebih hebring karena akumulasi kerjaan di Senin-Jumat, bahahaha. Apalagi kalau pakai acara masak sehari tiga kali. Iya, hidup saya keliatannya nggak praktis karena masaknya cuma cukup untuk sekali makan. Nanti mau makan lagi ya masak lagi lolol. Gapapa lah ya, mumpung masih bisa masakin suami, dan suami doyan masakan saya :)) Jadi jangan kira kalau perempuan bekerja, kemudian dengan ajaib rumahnya sudah langsung bersih, pulang kerja sudah ada makanan di meja makan, kasur sudah rapi, rumah sudah bersih, bahahaha. You wish :))

Saya bersyukur karena punya suami yang pengertian. Kalau melihat saya sibuk di dapur sepulang kerja untuk menyiapkan makan malam, dia biasanya langsung membantu bersih-bersih rumah, jadi ketika masakan sudah siap, rumah sudah bersih, bisa langsung makan, lalu gegoleran sambil nonton Detective Conan, hohoho. Saya beruntung sekali karena suami saya mau diajak bekerjasama untuk melakukan apa saja. Bukan tipe-tipe suami yang cuma mau diladeni tapi nggak mau bantuin. Hiks. *terharu*


Oleh karena itu, saya suka sedih kalau ada yang seenaknya sendiri judge perempuan bekerja sebagai perempuan *atau istri* yang tak tau kodratnya. Yang suka begini ini kadang malah ya perempuan-perempuan juga lo. Mungkin mereka masih beruntung karena suaminya masih sehat, bisa menafkahi dengan cukup, atau mungkin usahanya sudah lancar jaya dan hidupnya baik-baik saja. Selamat ya.

Tapi mungkin mereka lupa kalau ada perempuan yang tak langsung seberuntung mereka. Karena masih banyak yang harus bekerja berdua untuk mencapai mimpi bersama-sama. Atau yang harus menafkahi keluarganya karena suaminya terkena musibah. Masa suaminya mau ditinggal, lalu cari suami lagi yang sanggup beliin gincu 500k kapan aja? Nanti dibilangnya nggak setia *apeu*

Mungkin juga mereka tidak tau. Mungkin. *harusnya kalau nggak tau ya diem aja sih* *malah ngomel* :p

Saya juga prihatin kalau ada yang kemudian menyepelekan perempuan yang stay-at-home. Ya biarin aja napa sih. Siapa tau kalau ternyata dia sudah punya usaha segudang yang ngawasinnya tinggal diliat aja dari smartphone di rumah. Siapa tau duit suaminya sudah turah-turah dan suaminya pingin dia di rumah aja, mempercantik diri, menekuni hobi, atau menemani suaminya pergi kemana-mana. Saya pernah tau loh pasangan kayak begini. Beneran ADA. Jadi kalau belum paham betul kondisinya, direm dulu itu komentarnya. Tau kondisinya pun, nggak usah komentar juga lah. Buat apa kan? :p

Menurut saya, mau jadi perempuan bekerja ataupun tak bekerja, asalkan tak melupakan apa yang jadi kewajiban sih, tak ada masalah ya. Apalagi kalau nekat bekerja padahal suaminya tak mengijinkan. Ya bisa jadi masalah. Intinya sih memang komunikasi kan ya? Toh kondisi setiap rumah tangga kan tak sama. Lifegoals –kata anak sekarang– yang ingin dicapai tiap keluarga kan juga beda.

Jadi, masih mau memperdebatkan hal semacam ini sampai kapan, Buibu? :)


1 comment:

  1. Sukasukasukaa, setujuh.
    Jd pngen cepet2 nikah biar bisa jadi buibu 😂

    ReplyDelete