Sepertinya sudah lama nggak nulis tentang marriage life ya. Tiba-tiba kepikiran untuk nulis tentang ini lagi setelah baca tulisannya Kak Annisast dan Nahla dua minggu lalu. Daripada keburu menguap idenya, yuk marilah...
Saya termasuk yang menikah di usia yang menurut banyak kalangan belum telat yaitu 23 tahun. Kerja baru dapat dua bulan. Kuliah belum benar-benar rampung karena masih belum resmi disumpah (gini-gini saya apoteker btw 😝) Jadi, jangankan tabungan, penghasilan sendiri saja sisa cuma seberapa karena tanggungan bayar dua tempat kost, di Cikarang dan Surabaya. Suami saya pun sama, karena kami berdua seumuran, dan kebetulan teman sekelas di kampus.
Menurut Kak Annisast, pernikahan adalah kompromi and I do agree with her. Senyambung-nyambungnya saya dan suami, pasti masih ada hal yang membuat kami berbeda pendapat dan jalan terbaiknya ya apalagi kalau bukan berkompromi kan?
Saya termasuk yang menikah di usia yang menurut banyak kalangan belum telat yaitu 23 tahun. Kerja baru dapat dua bulan. Kuliah belum benar-benar rampung karena masih belum resmi disumpah (gini-gini saya apoteker btw 😝) Jadi, jangankan tabungan, penghasilan sendiri saja sisa cuma seberapa karena tanggungan bayar dua tempat kost, di Cikarang dan Surabaya. Suami saya pun sama, karena kami berdua seumuran, dan kebetulan teman sekelas di kampus.
Menurut Kak Annisast, pernikahan adalah kompromi and I do agree with her. Senyambung-nyambungnya saya dan suami, pasti masih ada hal yang membuat kami berbeda pendapat dan jalan terbaiknya ya apalagi kalau bukan berkompromi kan?
Saya sadar betul bahwa ketika sudah menikah, yang katanya menikah dengan penuh cinta, yang katanya rela berkorban demi suami pun, tetap saja mau berkompromi itu susah dan capek. Katanya semua bisa kalau sayang. Semuanya terasa ringan kalau cinta. Ah you belum tau saja 🙈
Karena kita semua manusia, dan setiap manusia punya ego sendiri. Hmm... mungkin sekali dua kali, oke lah kompromi, tapi kalau harus setiap hari, sepanjang sisa hidup? 😐 Saya nggak tau kalian ya, tapi kalau saya sih ogah.
Itulah kenapa saya dulu pernah memutuskan hubungan dengan seseorang yang mestinya, kata orang lain, adalah pasangan ideal untuk saya. Tapi saya-nya sendiri merasanya nggak sreg gimana dong? Ya dari luar kelihatannya ideal, tapi kami punya perbedaan pandangan yang prinsipil banget dalam hidup. Hal prinsip ini bisa sampai kemana-mana efeknya, terutama pada kebebasan saya untuk beraktivitas *yeah, saya orangnya hore-hore banget*
Saya keberatan kalau harus mengubah cara pandang saya, dan dia pun kekeuh. Jadi ya ngapain? Bubar saja lah, meski restu dua keluarga sudah di tangan. 😛
Saya keberatan kalau harus mengubah cara pandang saya, dan dia pun kekeuh. Jadi ya ngapain? Bubar saja lah, meski restu dua keluarga sudah di tangan. 😛
Sekarang ya kadang aja kompromi-kompromi sedikit dengan suami. Semacam mau ikutan diajak ke Jakarta Toys and Comics Fair kemarin meski badan rasanya gempor dan pingin gegoleran di rumah. Ya sudahlah, kapan lagi nyenengin suami beli mainan kan? 🙈
Kompromi yang pernah saya lakukan sejauh ini sepertinya hanyalah memaklumi hobi suami. Lainnya? hampir nggak ada. Karena meskipun tampangnya galak gitu, suami saya orangnya woles, hohoho cocok sekali dengan saya yang hebring *apeu*
Lagian hobi suami saya apa sih, palingan juga Gundam, yang itupun belinya nunggu ada diskon besar atau pameran kayak kemarin biar dapat harga super miring, hahaha. Atau hobi main game di smartphone. Ah ini sih semua cowok juga gini kayaknya. Dulu hobi main di laptop, sekarang kayaknya sudah bosen 😛 Masih nggak papa lah suami saya demen nge-game, dibandingin sama yang hobi............togel misalnya *doh* atau hobi...........main perempuan *ayok mari gampar bareng-bareng cowok kayak gini*
Kadang juga saya berkompromi pulang telat karena menunggu suami main futsal dulu sepulang kerja. Seringnya sih saya tinggalin nongkrong di J.CO sambil wifian, tapi kadang ya saya ikut juga sih, nungguin di pinggir lapangan sambil baca novel. Tergantung lagi ada duit apa nggak *eeeaaaa
Kompromi suami ke saya apa ya? hahaha. Saya nggak kepikiran. Mungkin dia mau kompromi terhadap berat badan saya yang nggak turun-turun. Mungkin. 😐
Nahla merangkum pernikahan sebagai PROGRESS. Saya setuju juga ini, hahaha *anaknya mudah ikut arus* karena ada banyaaak sekali progress dalam diri saya dan suami semenjak menikah dan tinggal jauh dari orang tua. Saya yang dulu cuma bisa masak telur ceplok, sekarang sudah lumayan laaah, bisa beberapa macam meski kadang-kadang ya masih ditambahin Masako lah, Sis. Ku tak sanggup masak kalau nambah-nambahin stres, hahaha
Suami yang dulu saya yakin nggak pernah benerin apa-apa, sekarang ya jadi tukang ini-itu di rumah sendiri karena mau manggil tukang ya mahal. Lagian masa apa-apa manggil tukang deh ya. Benerin keran yang buntu, colokan nggak bener, mesin cuci ngadat, pompa air minta di-apalah-apalah itu. Saya mengapresiasi sekali karena suami saya dulu mah mana pernah ngurusin gituan 😜 palingan bentar lagi dia bisa nih benerin genteng bocor.
Beli lemari baju dan lemari buat tivi, dirakit sendiri sampai hampir semingguan karena kalau dikirim jadi, bayarnya nambah. Sayang-sayang duitnya kan ya, bisa buat jatah Chatime sebulan, maka angkut saja, lalu pasang-pasang sendiri. Saya bantuin dong, tenang saja. Meski banyakan jadi tukang berisik doang, tapi saya juga bisa lah bantu-bantu ngambilin obeng atau palu, wkwkwk 💪
Progress yang pesat sekali untuk kami berdua 😂
Kalau saya sendiri harus merangkum pernikahan dalam satu kata, rasanya hanya ada satu kata yang terlintas di dalam kepala.
TANGGUNG JAWAB
Bukan hanya sebagai suami dan istri, tapi juga sebagai menantu, ipar, orang baru di keluarga besar tentunya.
Suami saya punya tanggung jawab untuk menjaga saya tetap bahagia sebagaimana orang tua saya membahagiakan saya selama ini. Saya punya tanggung jawab mendampingi suami saya dalam semua kondisi, sebagaimana keluarganya mendampinginya selama ini.
Suami punya tanggung jawab untuk ikut menjaga nama baik keluarga saya, demikian juga dengan saya yang harus menjaga sikap agar tidak mempermalukan nama keluarga suami.
Saya harus bisa tanggung jawab terhadap kepercayaan yang diberikan suami, begitupun sebaliknya. Kami secara terbuka memberitahu password semua akun sosial media, hingga PIN ATM rekening, meskipun pada akhirnya setiap mau pakai duit pasti ngasitau itu duitnya dipakai untuk apa.
Saya belum pernah -dan nggak pernah kepikiran- untuk jadi ekstrem semua hal minta izin suami dulu kalau mau beli-beli, karena toh dia percaya saya lebih susah buat mau keluarin duit kok, wkwkwk. Palingan izin kalau mau ikut arisan, atau beli Tupperware yang harganya lumayan. *emak-emak* Kalo cuma sekedar beli kebab beku atau keripik sih gak usah izin. Lha suami saya juga doyan 😂 Beli make-up atau skincare pakai duit sendiri lah. Kan punya gaji sendiri tiap bulan. lololol😆😝
Kalau bicara tanggung jawab memang paling sensitif di per-duit-an ya. Itulah kenapa contohnya sedari tadi duit melulu, hahaha.
Tanggung jawab ini juga berlaku hingga nanti saatnya kami punya keturunan tentunya. Jangan sampai lah membesarkan anak tanpa tanggung jawab karena anak -terutama yang masih kecil- belum bisa memilih sendiri. Sehingga pilihan kita untuk anak nanti, haruslah pilihan yang bertanggungjawab ya, Buibu. Jangan asal katanya. Jangan asal karena omongan tetangga. Jangan asal kemakan berita. *self reminder*
Semoga pernikahan kami langgeng selamanya ya! 💓🙆
No comments:
Post a Comment