December 23, 2016

[Reflection] Tenggang Rasa

Tahun 2016 sudah mau berlalu saja ya, huhuhu. Tahun ini tempat kerja saya memang lagi banyak menyiapkan proyek besar jadinya rempong segala rupa dan waktu terasa begitu cepat berlalu begitu saja. Tapi ya sudahlah, namanya juga kerja, kalau mau nggak rempong ya sudah tidur saja sana *plak*



Tahun ini menjadi tahun kedua saya bekerja di sini. Sudah lumayan lama meski masih banyaaaak yang tetap harus dikejar dan dipelajari. Jangan sampai kalah update info sama yang baru lulus, bhahahaha. Be a longlife learner pharmacist. Yihaaa! 💪

Btw, di sini level saya masih di tengah-tengah. Masih bocah baru lulus dua tahun yang lalu dengan pengalaman kena audit Badan POM tiga kali dan hanya punya seorang staf plus dua analis. Kalau rekan kerja bingung, mereka tanya saya, lalu kalau saya bingung? Saya tanya suami, bhahahaha *apadeh* Saya tanya atasan saya yang dengan senang hati mendengarkan saya kebingungan sambil ngetik-ngetik di laptopnya 😐

Atasan saya adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang istri dan tiga anak. Warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan sebagaimana banyak orang Tionghoa, mereka merayakan Natal sekaligus tahun baru Imlek. Atasan saya ini apoteker juga seperti saya, jadi jangan kira semua orang Tionghoa buka toko atau bisnis properti. Sementara istrinya menjadi seorang dokter gigi. Jadi koko dan cici di toko setau saya masih belum ada dalam rencana masa depan mereka sih.😅

Ketika ribut-ribut tentang keturunan Cina yang begini begitu, pandangan dan rasa hormat saya terhadap mereka tak berkurang sedikit pun. Mereka keluarga yang baik dan menyenangkan. Ketika Imlek, kami yang di pabrik sering kecipratan hadiahnya juga. Ketika kami merayakan Idul Adha, kami berbagi sate kambing juga bersama-sama. 

Atasan lain lagi bak seorang motivator. Tiap datang ke pabrik pasti dengan wajah teduh menenangkan dan penuh kalimat motivasi. Beliau ini banyak belajar secara akademis sehingga tiap mendengar beliau bicara, saya berasa lagi kuliah 🙇 Hidup sehat dengan lebih banyak minum air putih ke mana-mana. Sangat penuh perhitungan dan mengedepankan efisiensi, tapi masih masuk akal sih caranya. Masih keturunan Tionghoa seperti atasan saya yang tadi saya sebut di atas. 😇

Lain lagi dengan atasan yang lain. Beliau ini suka heboh. Kadang heboh untuk hal-hal yang kurang penting lalu merepotkan semua orang. Kadang permintaannya aneh-aneh dan pelit sangat, bhahahaha. Keturunan Tionghoa? Iya. Pebisnis? Iya banget.😎

Dari tiga orang ini, saya paling dekat dengan atasan yang pertama karena yang paling sering datang ke pabrik dan jadi tempat bertanya segala macam. Yang paling tidak dekat, tentu dengan yang terakhir, karena emang paling jarang datang ke pabrik. Paling kenal sama saya juga kagak.

Ketiga-tiganya keturunan Tionghoa, tapi sifat dan pembawaan mereka semua berbeda. Jadi, tentu saja seseorang itu menyebalkan atau tidak, bukan dari dia keturunan dari mana. Setuju?

Ketika kuliah, banyak teman saya yang keturunan Tionghoa. Kayaknya nggak ada yang pelit kebangetan sebagaimana yang sering jadi stereotype untuk orang Tionghoa deh. Bahkan Kakak Charles saja sering sekali beliin saya nasi jagung dan kerupuk keong kalau pagi dia mampir ke pasar 😆😅 Ardi juga sepertinya biasa saja. Nugget bekalnya dari rumah kami comot sembarangan juga dia nggak ngamuk, bhahahaha *temennya gak beres semua* 😈 Rio malah sering sekali bawa roti lengkap dengan selainya ketika kami kerja kelompok. Dia tau saja kalau sebagian besar anggota kelompoknya adalah anak-anak kos yang sering kelaparan. Itu baru yang di kelas saya sih. Tapi sepertinya yang di kelas lain juga biasa saja deh.

Saya sering bertanya-tanya bagaimana perasaan atasan saya, teman-teman saya, dan mereka-mereka yang keturunan Tionghoa ini ketika mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari sekitarnya. Apalagi akhir-akhir ini berita penuh provokasi dan kebencian makin banyak padahal beritanya juga belum tentu benar. Rasanya mungkin sama sakitnya seperti saat agama saya dituduh melahirkan calon-calon teroris atau pandangan menyudutkan orang-orang terhadap muslimah berkerudung dan bercadar. Shakhitnya tuh di situ, Sis!

Ketika kita dengan lantangnya bilang mereka yang mencemooh agama kita sebagai orang yang berpikiran sempit, bagaimana dengan kita yang begitu gampangnya mengecap orang-orang Tionghoa sebagai sumber masalah? Berbeda kah?

Interaksi saya dengan banyak orang sejak merantau untuk kuliah tujuh tahun lalu, berbaur dengan banyak etnis, dan sekarang bekerja di daerah dengan jumlah pendatang yang mungkin jauh lebih banyak daripada orang lokalnya sendiri, sangat membantu saya untuk memahami pentingnya toleransi. Pentingnya bertenggangrasa dengan orang lain. Bahwa semua yang diajarkan dan menjadi judul bab di buku PPKn ketika SD-SMA itu memang benar-benar harus dilakukan.


Ketika ada pekerjaan di lab yang belum terselesaikan tapi sudah masuk waktu sholat, lalu teman kita yang ternyata Cina dengan senang hati mau menggantikan agar pekerjaan kita tak berhenti di tengah jalan, apakah pantas bila kita merasa pongah dan sombong sebagai mayoritas padahal mereka begitu tulus? 😊

Saya merasa sangat beruntung pernah punya pengalaman yang baik seperti ini sehingga membuka mata saya yang dulunya hanya hidup di kalangan mayoritas dan menganggap agama lain sebagai pihak yang selalu salah. Mata saya makin terbuka lebar ketika Bu Kost yang punya rumah kost saya di sini dulu, yang merayakan Natal, yang orangnya cuma ngajak ngobrol ketika nagih uang kost atau ada komplain dari penghuni kost, menghadiahkan saya 15 bungkus Indomie setelah saya bagi-bagi eggroll doang. Ya, sebenarnya orangnya baik kok, cuma nggak pintar basa-basi saja, hahaha.

Jadi mungkin kalau kalian masih ada yang sukanya jelek-jelekin Cina, mungkin kalian belum pernah merantau atau tinggal dengan orang yang Cina tapi baik hati. Mungkin kalian perlu keluar dari segala macam atribut kedaerahan dan berbaur dengan banyak orang dari daerah lain. Bahwa yang perlu dipedulikan itu sikapnya, perilakunya. Bukan hanya karena asalnya dari mana dan suku apa. Ini juga berlaku buat yang suka bilang orang Madura itu kasar, orang Batak itu galak, orang Sunda suka nilep *apedeh*, orang Betawi suka nyolot, et cetera.

Sekedar renungan ya 🙆


p.s : agama di Indonesia yang diakui pemerintah itu ada 6 ya. Plis atuh jangan kudet!



No comments:

Post a Comment