September 23, 2016

Apoteker


Beberapa waktu lalu Mama saya menelepon dan seperti biasanya emak-emak, Mama bercerita banyak hal pada saya. Salah satunya adalah tentang tempat saya bekerja. Rupanya hingga saat ini Mama masih belum tau saya ini bekerja sebagai apa dan kerjaannya ngapain aja. Walah, sudah dua tahun lo padahal, hahaha. Ternyata pertanyaan ini diajukan oleh atasan di tempat Mama mengajar sekarang, dan Mama kebingungan untuk menjawabnya, sehingga dijawab saja lah si anaknya ini apoteker. Tau responnya? “Oooh… jaga apotek ya? Kok jauh amat sampai ke Jakarta. Anak tunggal lagi, kasian Mama-nya.”
Saya cuma bisa ketawa ngakak saja sih, hahaha. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya mendapat pengalaman seperti ini. Beberapa teman yang bertanya langsung pada saya juga banyak. Tapi mungkin asumsi demikian ini karena memang profesi apoteker sudah di-salah-kaprah-i dari dulu, hahaha *bahasa apa ini* Coba saya jelasin deh kalau gitu.
Salah kaprah yang pertama, apoteker di apotek bukan hanya sekedar jaga ya, Buibu. Kalau sekiranya mengelola apotek ini sama saja macam mengelola warung sayur seperti sebelah rumah saya, sepertinya sih tak sampai butuh apoteker. Kemahalan mau bayar gajinya, wakakakakak /plak/
Ada banyak tanggung jawab yang harus dilakukan oleh apoteker di apotek. Terutama untuk apotek yang memiliki banyak stok obat-obatan psikotropika dan narkotika.  Belum lagi memberikan edukasi obat ke pasien hingga membantu pasien memilihkan obat ketika swamedikasi. Masih juga ditambah dengan urusan administrasi lain untuk menjamin ketertelusuran pengadaan obatnya di apotek. Ini penting lo, karena pembuat obat palsu di luar sana sudah banyak ragam modusnya, sehingga apoteker wajib berhati-hati ketika ingin melakukan pengadaan obat di apotek yang dikelolanya. Karena ribet dan banyak aspek yang harus diurus itulah kenapa saya dulu sampai dapat kuliah Manajemen Apotek segala, hahaha :p
Salah kaprah yang kedua, apoteker tidak selalu akan bekerja mengelola apotek. Lahan nyangkul-nya banyak dan masih linier dengan keilmuannya. Kalau dilihat dari label “profesi kesehatan”-nya sih memang kalau tak di apotek ya di klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Tapi itupun juga bukan sekedar jaga gudang obat lo ya. Hohoho
Rekan sejawat kami banyak juga yang berkarya di tempat lain. Menjadi aparatur negara, masuk ke BUMN, membuka jasa sebagai konsultan, penilai di penyedia asuransi, distributor obat/pedagang besar farmasi (karena ini jualan obat, bukan mie lidi), hingga membuka usaha atau berbisnis sendiri. Bisnis yang dimaksud ini bisa berupa mendirikan apotek sendiri, home industry obat herbal atau kosmetik, hingga pabrik obat sendiri. Mungkin ada yang mau nambahin? ;)
Situ jadi apa?
Saya mah buruh pabrik, hahaha. *oke skip*
Saya dan suami sama-sama bekerja di industri farmasi. Namanya juga industri farmasi, kerjaannya ya bikin obat. Berhubung ini bikin obat, prosesnya bukan asal jadi kayak bikin gorengan. Ya tho? Gorengan yang dibikin asal-asalan aja hasilnya nggak enak, ini obat loh. OBAT. *ya biasa aja napa :p*
Proses pembuatan obat harus mengikuti pedoman paling sakral bernama CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) terbaru. Harus terbaru ya, kalau nggak, siap-siap aja kena semprot Badan POM. Hahaha. :p *pengalaman*
Bukan hanya pembuatan obat, pembuatan kosmetik dan obat tradisional pun ada ketentuan yang harus diikuti. Pedomannya bernama CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik) untuk kosmetik, dan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) untuk obat tradisional. Pedoman ini mengatur mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, pengawasan mutu, penilaian kualitas, hingga “nasib” obat setelah dipasarkan dan berada di tangan konsumen. Produsen/industri pembuat obat-kosmetik-OT harus menjamin bahwa obat yang diedarkan sudah lulus pengujian mutu produk dan tetap berkualitas hingga akhirnya digunakan oleh pasien. Itulah kenapa ada yang namanya uji stabilitas obat segala.
Apoteker di industri kerjaannya ngapain?

Banyak. Hahahaha. Saya coba cerita sedikit, agak bingung sih gimana jelasinnya, tapi semoga paham lah. :p
Apoteker di industri berperan mulai dari mengurusi registrasi produk obat ke BPOM, proses produksi, hingga pengawasan kualitas. Paling tidak harus ada apoteker di bagian produksi, pengawasan mutu, dan pemastian mutu yang independen satu sama lain. Jadi, nggak boleh rangkap jabatan gitu lo maksudnya. Tapi tidak terbatas hanya di bagian itu saja, karena setiap bagian pun punya sub-bagian yang juga membutuhkan kompetensi apoteker, misalnya di bagian validasi, pengembangan produk, atau mikrobiologi.
Pusing nggak bacanya? :p
Nah karena saya tertarik sekali dengan industri farmasi, itulah kenapa saya jauh-jauh merantau ke Cikarang untuk memperoleh pengalaman bekerja. FYI, hampir sebagian besar industri farmasi tersebar di Jawa Barat. Itu info dari orang POM sendiri sih. Jumlah pastinya berapa, saya juga belum ngecek, hohoho. Ini belum ditambah dengan industri kosmetik dan obat tradisionalnya ya. :p Bisa dibayangkan kan persebaran apoteker di sini ada berapa.
Itu tadi sedikit cerita saya tentang apoteker ya. Nggak banyak sih, karena memang pengalaman praktik saya sendiri baru berjalan dua tahun. Belum yang expert-expert amat, hwakakakaka. Kalau ada yang tanya enak atau nggak jadi apoteker, saya beri jawaban diplomatis saja ya. Pekerjaan apapun itu enak-enak aja apabila kita setulus hati ketika melakukannya. Tsaaah… Syukuri saja apapun pekerjaan dan rezeki yang sudah diberikan untuk kita yaaaa… ^^
See you!


4 comments:

  1. Jadi apoteker ruwet enakana jadi blogger ? :D *eh gimana*

    ReplyDelete
  2. Kalo semua apoteker jadi blogger gara-gara gak mau ruwet, nanti yg suplai obat BPJS siapa dong 😂😂😂

    ReplyDelete