December 2, 2014

Rumpik Susu Formula

Gambar diambil dari sini
Rasanya sudah lama sekali tidak menulis *kibas-kibas debu* Komitmen kuat untuk update blog seminggu sekali sepertinya mundur menjadi sebulan sekali, huhuhu *garukin tembok*

Gara-gara kenaikan harga BBM baru-baru ini, saya juga ikut kena dampak kenaikan harga bahan-bahan pokok di pasaran. Di satu sisi, saya setuju kalau BBM ini tidak terlalu banyak menghabiskan subsidi. Jadi bisa digunakan untuk pembangunan di sektor berbeda.  Tapi di sisi lain, ketergantungan kita terhadap transportasi umum yang  aman dan nyaman sebagai dampak kenaikan harga BBM ternyata belum bisa diantisipasi oleh penyelenggara negara ini dan justru membuat keadaan –saya khususnya- menjadi lebih repot. Bahan bakarnya mahal, tapi transportasi umumnya juga belum ada. :(
Ya… semoga di balik semua keputusan pemerintah ini tetap ada sisi baiknya ya. Tapiiii… yang mau saya bahas bukan perkara BBM ini. Sudah banyak orang yang lebih kompeten yang membahasnya. Saya justru ingat pembicaraan beberapa rekan di kantor yang mengeluhkan kemungkinan harga susu untuk anaknya akan ikut naik. Saya yang memang belum punya anak sih cuma nimbrung mendengarkan saja ya. Maklum selain belum punya anak sendiri, saya juga tidak punya adik dan tidak ikut mengurus ponakan yang masih kecil sehingga harga susu, baju, diapers, dan pernak-pernik bayi lainnya saya kurang ngeh.

Di tengah pembicaraan ibu-ibu ini, tiba-tiba ada seorang rekan pria saya lainnya *iya, PRIA* ikut nimbrung dan berkomentar masalah susu bayi mana yang paling baik. Deeeuh... mendadak ilfeel saya. Sedari kecil hingga sekarang sudah disumpah sebagai Apoteker *akhirnya* belum pernah ada di pelajaran atau kuliah saya yang menyatakan susu formula (sufor) lebih baik dibandingkan ASI. Parahnya lagi, si Mas ini menyebutkan beberapa merk lengkap dengan efeknya *yang kata dia sudah tervalidasi* kepada anak. Jadi sufor A, bikin anak jadi aktif. Sufor B, bikin anak jadi pendiam, tidak suka bermain. Sufor C, bikin anak jadi bodoh *naudzubillah* dan seterusnya… dan seterusnya. Setelah saya tanya apakah itu pengalaman dia sendiri, ternyata bukan. Nahloh… jadi yang dia ceritakan itu adalah kata saudaranya, lihat ponakannya, diceritakan temannya, dan sebagainya… dan sebagainya. Gubrak…

Saya jadi miris karena tau si Mas ini apoteker loh. Memang jauh lebih tua dari saya, tapi dia bahkan belum punya anak sendiri untuk membuktikan teorinya tadi. Saya sedih karena dia bicara di depan rekan-rekan lain yang bukan apoteker, yang menganggap dia lebih kompeten dan lebih tau, yang saya yakin akan mereka percaya. :( Bukankah setiap teori harus evidence based? Dia bahkan bukan pakar sufor atau ahli gizi anak.

Jauh sebelum mendengarkan rumpik-rumpik sufor tadi, saya memang sudah meyakinkan diri untuk memberikan ASI untuk anak saya nanti. Melihat betapa lemahnya saya terhadap komitmen –lihat saja komitmen nulis blog ini :(- saya membekali diri dengan minta dukungan kanan kiri, hingga mempersiapkan niat sebesar mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk anak.

Saya mengapresiasi para ibu yang mau repot-repot bawa cooling bag, pompa ASI, dan segala printilannya untuk stok ASI. Saya menghargai keputusan ibu yang memilih berhenti bekerja untuk menyusui anak, memilih untuk bersama anaknya yang berada di golden period. Saya pun menghormati keputusan ibu yang sambil memberi sufor kepada anak karena masih tetap harus bekerja. Sekali lagi, keadaan setiap orang tidak sama, dan menurut saya, alasan apapun itu sejatinya adalah benar jika didasari untuk kebaikan sang anak.

Memang tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua yang baik, tapi niat untuk memberikan yang terbaik untuk anak disertai dengan keinginan untuk terus memperbaiki diri sehingga bisa menjadi contoh yang baik rasanya cukup sebagai modal. Semangat selalu, para orang tua di seluruh dunia… :D

No comments:

Post a Comment