![]() |
Gambar diambil dari sini |
Rasanya sudah lama sekali tidak menulis
*kibas-kibas debu* Komitmen kuat untuk update blog seminggu sekali sepertinya
mundur menjadi sebulan sekali, huhuhu *garukin tembok*
Gara-gara kenaikan harga BBM baru-baru ini,
saya juga ikut kena dampak kenaikan harga bahan-bahan pokok di pasaran. Di satu
sisi, saya setuju kalau BBM ini tidak terlalu banyak menghabiskan subsidi. Jadi
bisa digunakan untuk pembangunan di sektor berbeda. Tapi di sisi lain, ketergantungan kita
terhadap transportasi umum yang aman dan
nyaman sebagai dampak kenaikan harga BBM ternyata belum bisa diantisipasi oleh
penyelenggara negara ini dan justru membuat keadaan –saya khususnya- menjadi
lebih repot. Bahan bakarnya mahal, tapi transportasi umumnya juga belum ada. :(
Ya… semoga di balik semua keputusan pemerintah
ini tetap ada sisi baiknya ya. Tapiiii… yang mau saya bahas bukan perkara BBM
ini. Sudah banyak orang yang lebih kompeten yang membahasnya. Saya justru ingat
pembicaraan beberapa rekan di kantor yang mengeluhkan kemungkinan harga susu
untuk anaknya akan ikut naik. Saya yang memang belum punya anak sih cuma
nimbrung mendengarkan saja ya. Maklum selain belum punya anak sendiri, saya
juga tidak punya adik dan tidak ikut mengurus ponakan yang masih kecil sehingga
harga susu, baju, diapers, dan pernak-pernik bayi lainnya saya kurang ngeh.
Di tengah pembicaraan ibu-ibu ini, tiba-tiba
ada seorang rekan pria saya lainnya *iya, PRIA* ikut nimbrung dan berkomentar
masalah susu bayi mana yang paling baik. Deeeuh... mendadak ilfeel saya. Sedari
kecil hingga sekarang sudah disumpah sebagai Apoteker *akhirnya* belum pernah
ada di pelajaran atau kuliah saya yang menyatakan susu formula (sufor) lebih baik
dibandingkan ASI. Parahnya lagi, si Mas ini menyebutkan beberapa merk lengkap
dengan efeknya *yang kata dia sudah tervalidasi* kepada anak. Jadi sufor A,
bikin anak jadi aktif. Sufor B, bikin anak jadi pendiam, tidak suka bermain.
Sufor C, bikin anak jadi bodoh *naudzubillah* dan seterusnya… dan seterusnya. Setelah
saya tanya apakah itu pengalaman dia sendiri, ternyata bukan. Nahloh… jadi yang
dia ceritakan itu adalah kata saudaranya, lihat ponakannya, diceritakan
temannya, dan sebagainya… dan sebagainya. Gubrak…
Saya jadi miris karena tau si Mas ini apoteker
loh. Memang jauh lebih tua dari saya, tapi dia bahkan belum punya anak sendiri
untuk membuktikan teorinya tadi. Saya sedih karena dia bicara di depan rekan-rekan
lain yang bukan apoteker, yang menganggap dia lebih kompeten dan lebih tau,
yang saya yakin akan mereka percaya. :(
Bukankah setiap teori harus evidence based? Dia bahkan bukan pakar sufor atau
ahli gizi anak.
Jauh sebelum mendengarkan rumpik-rumpik sufor
tadi, saya memang sudah meyakinkan diri untuk memberikan ASI untuk anak saya
nanti. Melihat betapa lemahnya saya terhadap komitmen –lihat saja komitmen
nulis blog ini :(- saya membekali diri dengan minta dukungan
kanan kiri, hingga mempersiapkan niat sebesar mungkin untuk memberikan yang
terbaik untuk anak.
Saya mengapresiasi para ibu yang mau
repot-repot bawa cooling bag, pompa ASI, dan segala printilannya untuk stok
ASI. Saya menghargai keputusan ibu yang memilih berhenti bekerja untuk menyusui
anak, memilih untuk bersama anaknya yang berada di golden period. Saya pun
menghormati keputusan ibu yang sambil memberi sufor kepada anak karena masih
tetap harus bekerja. Sekali lagi, keadaan setiap orang tidak sama, dan menurut
saya, alasan apapun itu sejatinya adalah benar jika didasari untuk kebaikan
sang anak.
No comments:
Post a Comment