January 27, 2017

Tulisan yang Menguatkan

Jadi ceritanya minggu lalu saya punya niatan untuk ikutan Writing Challenge gara-gara melihat status salah seorang teman di BBM. Sebut saja namanya Ros -memang nama sebenarnya 😜- Writing Challenge-nya dimulai tanggal 18 Januari, dan saya baru ngeh keesokan harinya. Kepikiran untuk nyusul dengan langsung nulis dua topik sekaligus, tapi nyatanya sampai sekarang saya belum nulis apa-apa, hahaha *pemalas kronis*

Tapi karena topiknya seru-seru, saya comot satu saja lah sebagai topik tulisan saya kali ini, hahaha. Lumayan kan daripada nggak sama sekali ya *failed 💁* dan topik yang saya ambil adalah tulisan yang dapat membuat saya merasa kuat. *hela napas*

Here we go... 💪


Selain orang tua, suami adalah orang terdekat saya saat ini. Bisa jadi malah yang paaaling dekat dan paaaling mengerti saya saat ini. Rezeki jodoh saya memang bukan yang gimana-gimana, tapi saya sudah merasa sangat cukup dan sangat bersyukur.

Dalam perjalanan dua tahun pernikahan kami -menuju tiga tahun di tahun ini- kami telah melalui banyak hal yang tak hanya membuat hati senang, tapi kadang juga air mata yang berlinang. Di tengah tingkah woles dan hahahihi saya selama ini, saya juga menyimpan kekhawatiran. Kadang di saat hati kalut, kekhawatiran itu berubah menjadi sesuatu yang menyesakkan. Kalau begitu terus, rasanya saya lelaaaaah sekali. 

Kekhawatiran saya berupa keturunan. Klasik. 

Di saat hampir semua teman-teman sebaya yang sudah menikah dengan bahagianya mengabarkan akan segera punya momongan, atau justru sudah menyiapkan printilan untuk makanan pendamping ASI anaknya untuk pertama kali, saya masih di sini-sini saja menyiapkan makanan untuk kucing 😛

Entah sudah ada berapa banyak yang iseng bertanya, yang ujug-ujug BBM lalu tanya punya anak berapa, yang santai ngoceh kenapa nggak cepat-cepat punya anak. Makasi ya. Ya kali punya anak bisa di-fasttrack 💁



Kalau semua kondisi sedang terkendali, saya bisa saja jawab dengan santai dan emoticon rotfl tanpa beban apa-apa. Tapi kalau tidak? 

Jujur saja, di lubuk hati terdalam, saya ikhlas-ikhlas saja dalam perkara ini. Dikasih bersyukur, belum dikasih juga tetap bersyukur. Tapi orang tua dan mertua saya pasti mendamba cucu bukan? Dan yang paling membuat sedih, ketika di malam hari, menatap wajah suami, yang banyak teman-temannya sudah berfoto-foto lucu dengan anaknya, kemudian saya membayangkan dia juga bermain dengan anaknya dan ketika itu rasanya hati ini......

Sekali lagi, my husband is my everything. Ketika saya menangis sesenggukan di balik lengannya, dia dengan sabar memeluk hingga tenang, lalu mengajak saya bicara apa saja hingga saya lupa kemudian tertawa. Sampai saya lupa bahwa beberapa menit sebelumnya saya menangis karena ternyata 'kedatangan tamu', sementara teman saya lainnya mengirimkan foto testpack bergaris dua. Tentu bukan salah teman saya yang ingin mengabarkan kebahagiaan, tapi saya-nya aja yang baper 😅


Suami saya adalah penguatan terbaik yang saya punya saat ini. Terutama dalam urusan semacam ini. Mungkin memang usaha kami belum maksimal. Mungkin memang waktunya saja yang belum tepat. Mungkin memang rezeki kami belum sekarang. Itu yang selalu diulang-ulang ketika mood saya sedang drop, dan sudah pasang ancang-ancang mewek lagi di depan suami.

Tahun ini kami baru berkomitmen untuk mulai usaha lebih. Semoga dimudahkan semua jalan, dan dapat hasil yang sesuai harapan.



No comments:

Post a Comment